468x60 Ads

Saturday 22 September 2012

Praktik Tambal Gigi Dimulai 65 Abad Lalu



Arkeolog menemukan sebuah gigi purba dengan bekas tambalan yang terbuat dari bahan lilin lebah. Temuan ini bisa menjadi bukti bahwa praktik tambal gigi sudah ada jauh di masa lalu.

Gigi yang merupakan gigi taring itu ditemukan lebih dari 100 tahun lalu bersama fosil tulang rahang. Analisis mengungkap, gigi tersebut milik manusia berusia 24-30 tahun, berasal dari masa 65 abad lalu.

Gigi taring tersebut punya celah vertikal pada lapisan enamel yang keras dan dentin yang lembut. Menurut arkeolog, kerusakan itu tidak disebabkan oleh aktivitas makan biasa.

Pria pada masa 65 abad lalu biasa menggunakan gigi untuk melembutkan bahan kulit dan membuat peralatan. Sementara, perempuan biasa menggunakan gigi untuk membantu membuat tenun.

Menurut arkeolog, gigi pria tersebut ditambal dengan bahan lilin lebah sekitar waktu kematiannya.

"Sangat sulit untuk mengidentifikasi tindakan dokter gigi secara kasat mata dengan alat yang sederhana," kata peneliti Claudio Tuniz, seorang ahli palaeoantropologi nuklir dari Pusat Penelitian Internasional Abdus Salam untuk Fisika Teoretik di Italia.

"Rahang bawah itu sudah ada di pusat penelitian selama 101 tahun tanpa ada seorang pun yang memperhatikan ada sesuatu yang aneh pada gigi taringnya," tambah Tuniz seperti dikutip Livescience, Rabu (19/9/2012).

Arkeolog telah berusaha memperkirakan waktu persis aplikasi tambalan tersebut dengan akselerator ion dan sinar X. Namun, mereka belum berhasil melakukannya.

Menurut Federico Bernardini, arkeolog dari pusat penelitian, mengetahui waktu aplikasi tambalan itu penting. Jika tambalan diaplikasikan sebelum manusia tersebut mati, maka tambalan ini bisa menjadi bukti praktek dokter gigi di zaman purba sekaligus bukti nyata tertua praktek tambal gigi.

Hingga saat ini, belum diketahui apakah praktik tambal gigi hanya ada di wilayah tempat gigi ini ditemukan atau menyebar di Eropa selama masa Neolitik. Belum diketahui pula efek tambalan lilin lebah pada rasa sakit di gigi. Arkeolog akan menyelidiki hal ini.

Bukti lain praktik dokter gigi purba juga pernah ditemukan. Pertama adalah temuan gigi geraham di Pakistan berusia 7.500 - 9.500 tahun dengan bekas bor. Selain itu, temuan gigi palsu dari Mesir berusia 5500 tahun.

194 Spesies Serangga Baru di Mekongga

 
JAKARTA, KOMPAS.com - Ekspedisi Mekongga yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan University of California, Davis, berhasil mengoleksi jutaan spesimen dan mengidentifikasi spesies baru.

Elizabeth Widjaja, peneliti bambu dari Puslit Biologi LIPI, dalam acara diseminasi riset hasil kerjasama LIPI, Rabu (25/4/2012), mengungkapkan bahwa fauna golongan serangga adalah yang paling banyak ditemukan.

"Ada 1 juta spesimen serangga yang diambil. Dari 1 juta itu baru 15.000 yang disortir. Belum semua spesimen diidentifikasi dan dinamai," ungkap Elizabeth.

Dari proses yang sudah dilakukan, diperkirakan ekspedisi berhasil mengoleksi 531 spesies serangga. Sementara, jumlah spesies baru yang diperkirakan 194 jenis.

Salah satu spesies baru serangga yang ditemukan adalah Megalara garuda atau tawon raja. Jenis tawon ini memiliki rahang yang besar, bahkan lebih besar dari kaki depannya.

Selain serangga, ada 24 jenis reptil, 15 amfibi, 27 ikan dan 17 crustacean. Beberapa spesies yang belum pernah ditemukan sebelumnya adalah 1 jenis kelelawar serta beberapa katak dan kadal.

Di bidang botani, ekspedisi Mekongga juga menemukan 1 genus bambu baru serta spesies baru Rhododendron, Syzygium (jambu-jambuan), osmocylon dan sebagainya.

Elizabeth megungkapkan, penelitian eksploratif seperti pengungkapan kekayaan hayati Indonesia perlu dilakukan. Tidak semua kegiatan riset harus diarahkan pada riset-riset aplikatif yang segera dapat dituai manfaatnya.

Saat ini, pemerintah kurang berpihak pada penelitian dasar. Anggaran LIPI yang dipotong 10 persen berimbas pada berkurangnya 80 persen anggaran penelitian dasar. Eksplorasi tak bisa dilakukan.

LIPI Diabaikan dalam Forum Ilmiah Perubahan Iklim


 
BOGOR, KOMPAS.com - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia kembali ditinggalkan dalam kebijakan strategis pengelolaan lingkungan. Setelah minim pelibatan dalam mekanisme pengelolaan sumber daya genetika, LIPI ditinggalkan dalam Forum Ilmiah Perubahan Iklim.

”Surat resmi kepada LIPI (terkait pembentukan ’IPCC Indonesia’) belum ada. LIPI memegang otoritas keilmuan dengan sejarah sangat panjang,” kata Kepala LIPI Lukman Hakim di sela Simposium Internasional Kebakaran dan Pengelolaan Karbon pada Hutan Gambut di Indonesia, Kamis (13/9/2012), di Bogor. Kegiatan menampilkan puluhan penelitian gambut, terutama di Kalimantan Tengah.

Di dunia, forum ilmiah perubahan iklim disebut Panel Ahli Antarnegara tentang Perubahan Iklim (IPCC). Di Indonesia, Forum Ilmiah Perubahan Iklim disejajarkan dengan IPCC.

Forum yang terdiri atas ahli, peneliti, dan praktisi itu menyusun kajian ilmiah perubahan iklim di Indonesia sebagai dasar pengambilan keputusan. Rekomendasi/masukan itu menjadi dasar dalam negosiasi global.

Pembentukan Forum Ilmiah Perubahan Iklim lewat nota kesepahaman Menteri Lingkungan Hidup dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Teknologi, serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Penandatanganan disaksikan Wakil Presiden Boediono, 14 Juni 2012.

Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Arief Yuwono belum bisa dikonfirmasi terkait ketidakterlibatan LIPI itu. Ia pernah mengatakan, melalui IPCC, Indonesia punya informasi akurat tentang perubahan iklim secara spesifik. ”Misalnya, Jakarta dengan Bogor beda keadaannya, termasuk soal cuaca. Dengan IPCC, Indonesia ada referensi lebih detail per kawasan,” ucapnya.

Lukman mengatakan, LIPI punya sederet hasil penelitian terkait mitigasi perubahan iklim. Contohnya, berbagai penelitian tentang gambut kerja sama dengan Jepang sejak tahun 1997.

Indonesia termasuk negara yang akan terdampak perubahan iklim, seperti banjir, kenaikan muka air laut, kekeringan, dan gagal panen. Untuk membuktikan hal itu, perlu argumen ilmiah kuat.

Semut Unik Berenang di "Perut" Kantung Semar


Kalau ada serangga yang layak disebut paling berani, mungkin semut Camponotus schmitzi adalah salah satunya. Semut ini hidup dan mencari makanan di daerah berbahaya, perut kantung semar Nepenthes bicalcarata.

Kantung semar diketahui merupakan tanaman rakus pemakan serangga. Jenis tanaman ini menjebak serangga sehingga jatuh ke kantung atau perutnya. Cairan yang ada di dalamnya membantu kantung semar mencerna serangga yang terjebak, menjadikannya sumber nitrogen.

Camponotus schmitzi berhabitat di kantung milik tanaman kantung semar. Makanan semut juga berasal dari serangga-serangga yang terjebak di kantung semar. Dengan kata lain, semut harus menjemput makanan di dekat cairan kimia yang bisa mencerna semut itu sendiri.

Untuk mampu mengambil makanan, semut Camponotus schmitzi harus berenang dulu dalam cairan pencerna milik kantung semar. Holger Florian Bohn dari Freiburg University di Jerman mempelajari bagaimana semut itu berenang dengan merekamnya dan membuat model pergerakan 3D.

Hasil penelitian mengungkap bahwa semut berenang di cairan pencerna dengan gerakan serupa lari cepat di darat. ketiga kaki semut bergerak bersamaan pada tahap pertama, kemudian diikuti tiga kaki lain pada tahap berikutnya.

Menurut peneliti, cara renang semut jenis tersebut khas, berbeda dengan cara gerak serangga air. Kemampuan gerak jenis semut itu adalah bentuk adaptasi pada kebutuhan hidup dan kondisi lingkungannya.

Kenyataan bahwa Camponotus schmitzi mampu berenang membingungkan ilmuwan. Pertama, bagaimana mungkin semut tak tecerna oleh cairan kimia. Kedua, bagaimana semut bisa tak terpengaruh oleh gaya permukaan air.

Peneliti mengatakan bahwa semut hanya berada sejenak di cairan pencernaan. Ini menjelaskan mengapa semut tak tecerna cairan kimia dari tanaman yang hidup di wilayah Kalimantan, Indonesia, dan area Borneo lainnya ini.

Sementara, dalam kaitan dengan gaya permukaan, Camponotus schmitzi telah beradaptasi sehingga kutikula kaki semut relatif lebih tidak menolak air. Ini memungkinkan semut bergerak di cairan pencerna untuk mencari makan.

Vincent Bonhomme dari University of Montpellier lewat hasil penelitiannya tahun lalu mengungkapkan bahwa semut hanya memakan bagian serangga tertentu. Sisanya, ia membuang kembali ke cairan pencerna. Ilmuwan mengatakan, semut Camponotus schmitzi membantu kantung semar mendapatkan nutrisi.

Semut "Nakal" Penyebab Konsleting Diidentifikasi


 
BALTIMORE, KOMPAS.com - Para biolog akhirnya berhasil mendeskripsikan semut Rasberry Crazy, jenis semut "nakal" yang suka hidup di sekitar kabel listrik dan berpotensi mengakibatkan konsleting
.
Semut Rasberry pertama kali ditemukan di Houston. Kini, semut ini juga ditemukan di 21 wilayah negara bagian Texas serta beberapa wilayah Missisipi dan Lousiana. Hewan ini berukuran sekitar 4-5 mm dan memiliki warna kemerahan.

Sebelumnya, biolog hanya berhasil mendeskripsikan hingga tingkat genus, yaitu genus Nylanderia. Karenanya, semut ini hanya diberi nama berdasarkan penemunya, Tom Rasberry.
Adalah John LaPolla, taksonom dari Towson University di Maryland, yang kemudian mempelajari spesies semut tersebut dan berhasil mengidentifikasi.  Riset LaPolla dipublikasikan di jurnal PLoS ONE pada Rabu (19/9/2012). Spesies tersebut diberi nama Nylanderia fulva.

Identifikasi berhasil dilakukan setelah membandingkan N. fulva dengan spesies lain di genus yang sama. LaPolla mengatakan, proses identifikasi cukup rumit karena N. fulva sangat mirip dengan spesies N. pudes. Ia kemudian mengetahui bahwa perbedaan keduanya ada pada alat kelamin jantannya.

"Beberapa lelucon yang beredar di kalangan taksonom serangga adalah bahwa kita menghabiskan banyak waktu untuk mepelajari spesies ini. Dan jawabannya adalah karena kadang-kadang ada ciri yang membantu membedakan spesies tersebut," ungkap LaPolla.

Pemberian nama sangat penting. Penamaan membantu biolog mengetahui musuh alami semut itu sehingga bisa mengendalikannya. Semut Rasberry yang berpotensi menimbulkan konsleting bisa mengganggu. Tahun 2008, Johnson Space Center di Houseton harus memanggil ahli untuk membantu mencegah semut-semut tersebut bergerak menuju peralatan komputernya. Penamaan juga membantu ilmuwan memahami fungsi spesies dalam suatu habitat.

Gerhana, Bulan Mars "Menggigit" Matahari

 
Robot Curiosity milik badan penerbangan dan Antariksa NASA kembali mengirimkan foto menarik. Kali ini, robot beroda enam ini mengirimkan foto saat Phobos, bulan Mars, menggigit Matahari.

Foto tersebut diambil saat terjadinya Gerhana matahari pada 13 September 2012 lalu. Berbeda dengan Gerhana Matahari yang dikenal manusia, gerhana tidak disebabkan oleh Bulan, tetapi oleh Phobos, salah satu bulan Mars.

Curiosity mengambil citra tersebut dengan kamera di lengan kanan dan kirinya. Sebanyak 100 gambar gerhana diambil namun tak semuanya dikirimkan ke penanggungjawab misi di Bumi.

Dalam salah satu foto, Phobos tampak "menggigit" Matahari. "Phobos menyerempet Matahari. Ini adalah gerhana matahari sebagian sebenarnya," kata Mark Lemmon, astronom Texas AM&M University, seperti dikutip AP, Rabu (19/9/2012).

Gerhana Matahari di Mars sebenarnya fenomena umum, bahkan lebih sering dibandingkan Bumi. Ini disebabkan karena Mars memiliki lebih banyak bulan yang mengitari. Namun demikian, hasil jepretan Curiosity tetap menarik.

Di samping soal foto, Curiosity juga membuat astronom kembali berpikir tentang struktur planet mars. Seperti yang terjadi di Bumi, bulan Mars juga dapat sedikit memengaruhi bentuk planet.

Phobos diketahui bergerak makin lambat. Sementara Deimos, bulan Mars yang lain, bergerak lebih cepat. Dalam 10-15 juta tahun ke depan, Phobos akan bergerak mendekati Mars hingga akhirnya terlempar oleh efek gravitasi Mars.

Gerhana Matahari oleh Phobos membantu astronom memprediksi orbit dan kecepatan perubahannya. Informasi ini diperlukan untuk membuat dugaan seberapa besar Mars akan berubah saat bulannya mendekat.

Curiosity sebenarnya memiliki misi meneliti batuan Mars dan mengetahui kemungkinan Mars mendukung kehidupan. Robot yang sampai di planet merah 5 Agustus 2012 lalu itu hari ini (21/9/2012) memulai penelitian batuan Mars.

Empat Jenis Kelelawar Berhidung Daun Ditemukan

 

Peneliti telah berhasil mengidentifikasi empat spesies kelelawar ladam baru. Kelelawar ladam adalah golongan kelelawar yang memiliki hidung besar berbentuk seperti daun.

Empat jenis kelelawar yang diidentifikasi berhabitat di Afrika bagian timur. Mulanya, keempatnya diklasifikasikan dalam satu spesies yang bernama Rhinolophus hildebranditii. Namun, lewat riset diketahui bahwa hewan yang selama ini digolongkan dalam spesies itu sebenarnya terbagi dalam empat spesies berbeda.

Identifikasi mulai dilakukan setelah adanya laporan perbedaan frekuensi gelombang ultrasonik yang dihasilkan spesies tersebut. Kelelawar menghasilkan gelombang suara ultrasonik untuk mengetahui lokasi mangsa. Teknik kelelawar ini disebut ekolokasi. Perbedaan frekuensi menjadi dasar dugaan perbedaan spesies.

Berdasarkan penelitian, empat spesies yang selama ini digolongkan jenis R. hildebranditii  punya perbedaan pada bentuk tengkorak, frekuensi panggilan dan DNA. Perbedaan sulit dilihat secara morfologi sehingga spesies ini sering disebut spesies kompleks.

Empat jenis kelelawar yang diidentifikasi kali ini sendiri meliputi kelelawar ladam Cohen (Rhinolophus cohenae) yang ditemukan di Provinsi Mpumalanga Afrika Selatan, kelelawar ladam Gunung Mabu (Rhinophus mabuensis) yang ditemukan di Gunung Mabu, kelelawar ladam Smither (Rhinophus smithersi) yang ditemukan di utara lembah Mozambik dan Limpopo serta kelelawar ladam Mozambik (Rhinophus mossambicus) yang ditemukan di padang rumput Zimbabwe dan Mozambique.

Penemuan ini menambah keanekaragaman jenis kelelawar ladam. Kelelawar ladam unik sebab jika lain kelelawar memancarkan sonar dari mulut, kelelawar jenis ini memancarkan sonar dari hidung. Hidung lebar kelelawar ladam ini berguna membantu memfokuskan sistem sonar.